Sri Mulyani Diminta Rangkul Pengusaha

Kamis, 03 Juli 2025 | 14:11:12 WIB
Sri Mulyani Diminta Rangkul Pengusaha

JAKARTA - Pemerintah tengah mematangkan kebijakan baru terkait pemajakan di sektor e-commerce, namun langkah ini dinilai belum sepenuhnya melibatkan pelaku usaha yang akan terdampak langsung. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengingatkan bahwa pemerintah, khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, seharusnya tidak merancang aturan pajak secara sepihak tanpa duduk bersama dan berdialog dengan dunia usaha.

Menurut Misbakhun, komunikasi dan keterlibatan para pelaku e-commerce mutlak diperlukan agar kebijakan tidak menimbulkan keresahan maupun penolakan di masyarakat. Ia menyampaikan bahwa dialog terbuka penting dilakukan untuk memastikan kepentingan pelaku usaha juga diperhatikan sebelum kebijakan diterapkan secara resmi.

"Kalau mengenai pajak e-commerce itu pemerintah harus duduk bersama dengan dunia usahanya. Seperti apa sih yang diinginkan?" ujar Misbakhun saat ditemui di Kompleks Parlemen

Ia menegaskan bahwa negara memang membutuhkan pemasukan dari sektor perpajakan demi menopang belanja negara, namun pengaturannya harus adil dan tidak menimbulkan kesan semena-mena. Keadilan dalam proses ini, lanjut Misbakhun, dapat tercipta apabila asosiasi pedagang, penjual daring, hingga produsen dilibatkan dalam proses penyusunan regulasi.

"Karena bagaimanapun juga pemerintah butuh uang untuk bisa mendapatkan pemasukan dari pajak. Tidak boleh kemudian ada aktivitas bisnis, aktivitas ekonomi yang tidak dipajaki. Baik itu melalui mekanisme online maupun secara offline," katanya.

Misbakhun juga mengingatkan bahwa kewajiban membayar pajak bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat. Setiap pembelian barang, baik secara online maupun offline, sudah dikenakan kewajiban membayar pajak pertambahan nilai (PPN).

"Begitu Anda membeli sesuatu ada kewajiban untuk membayar PPN 11 persen. Kalau itu barang mewah Anda membayar 12 persen. Nah, mekanismenya itu mau online, mekanismenya itu mau offline, silakan diikuti aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah," jelasnya.

Menurut Misbakhun, penerimaan dari pajak merupakan salah satu sumber utama untuk mendanai berbagai kebutuhan negara, mulai dari pendidikan, layanan kesehatan, infrastruktur, hingga belanja untuk keamanan nasional.

Namun, saat ditanya apakah DPR sudah membahas kebijakan ini bersama Kementerian Keuangan, Misbakhun menyatakan belum ada pertemuan resmi antara Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk membahas hal tersebut.

"Kalau ditanya duduk barengnya, belum. Karena itu mengenai pengaturan-pengaturan administrasi itu kewenangan penuh pemerintah,” tegasnya.

Sementara itu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyusun regulasi yang akan mewajibkan platform e-commerce untuk memotong dan menyetorkan pajak dari para penjual. Langkah ini disebut sebagai upaya menyederhanakan administrasi perpajakan sekaligus menciptakan keadilan perlakuan antara penjual daring dan penjual konvensional.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, mengungkapkan bahwa aturan tersebut saat ini masih dalam tahap finalisasi. Pemerintah berkomitmen untuk mengumumkan kebijakan tersebut secara terbuka dan transparan setelah proses penyusunan selesai.

"Prinsip utamanya adalah untuk menyederhanakan administrasi pajak dan menciptakan perlakuan yang adil antara pelaku usaha UMKM online dan UMKM offline," ujar Rosmauli.

Kebijakan ini ditargetkan akan mulai diberlakukan paling cepat pada Juli 2025. Pemerintah berharap dengan adanya aturan ini, penerimaan negara dari sektor digital bisa meningkat, tanpa mematikan pertumbuhan sektor tersebut.

Dari sisi pelaku usaha, beberapa platform besar seperti TikTok Shop, Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, hingga Bukalapak diperkirakan akan langsung terdampak kebijakan ini. Ini bukan kali pertama pemerintah mencoba menyasar sektor digital melalui skema pemungutan pajak; pada tahun 2018, upaya serupa sempat dilakukan namun gagal diteruskan karena mendapat penolakan luas dari industri.

Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyatakan bahwa pihaknya mendukung langkah pemerintah sepanjang implementasinya dilakukan secara bertahap dan tidak menimbulkan gangguan besar bagi pelaku usaha.

Namun ia menekankan bahwa kesiapan pelaku usaha dan infrastruktur sistem perpajakan menjadi aspek penting yang harus diperhatikan secara serius.

"Kami percaya bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada pendekatan yang kolaboratif, terencana, dan inklusif agar tidak menimbulkan disrupsi pada pertumbuhan ekosistem digital nasional," kata Budi.

Menurut idEA, pelaku UMKM digital selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional, terutama dalam mendorong pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Maka, kolaborasi antara regulator dan pelaku industri menjadi kunci agar kebijakan ini benar-benar berpihak pada semua pihak dan tidak menimbulkan hambatan baru bagi perkembangan sektor digital.

Langkah pemerintah dalam menyamakan perlakuan perpajakan antara toko fisik dan digital memang sejalan dengan tren global. Namun, seperti yang diingatkan Misbakhun dan pelaku industri, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada keterbukaan pemerintah dalam menerima masukan, serta kesiapan teknis dalam implementasinya. Jika tidak disusun dan disosialisasikan secara hati-hati, potensi kegaduhan dan penolakan terbuka dari masyarakat bisa kembali terjadi seperti pengalaman sebelumnya.

Terkini