JAKARTA - Pengesahan Undang-Undang (UU) Kepariwisataan oleh DPR RI menandai babak baru bagi pembangunan sektor pariwisata Indonesia.
Langkah ini tidak hanya mengatur regulasi teknis, tetapi juga membawa perubahan paradigma: pariwisata kini dipandang sebagai instrumen pembangunan manusia, kebudayaan, dan identitas bangsa, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Chusnunia Chalim, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kepariwisataan sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, menilai pengesahan UU ini menjadi tonggak penting.
“Kami tentu bersyukur atas pengesahan ini. Hal ini sekaligus menunjukkan respons bersama antara DPR dan pemerintah atas dinamika dan kebutuhan masyarakat agar pembangunan pariwisata dilaksanakan secara lebih inklusif, berkelanjutan dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal,” ujarnya di Jakarta, Kamis.
Paradigma Baru Pariwisata Indonesia
UU Kepariwisataan yang baru disahkan membawa empat bab tambahan yang menjadi fondasi bagi transformasi sektor ini. Keempat bab tersebut mengatur:
Perencanaan pembangunan pariwisata yang terpadu dan berorientasi pada kualitas.
Pengelolaan destinasi yang mengutamakan kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Pemasaran terpadu, termasuk strategi digitalisasi untuk meningkatkan daya tarik dan aksesibilitas destinasi.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, mendorong inovasi dalam kreasi kegiatan pariwisata dan pengalaman wisatawan.
Chusnunia menekankan, melalui regulasi ini, arah masa depan pariwisata Indonesia bergerak menuju pembangunan yang berkualitas, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat lokal.
“UU Kepariwisataan yang baru disahkan ini menghadirkan perubahan mendasar, di mana pariwisata kini tidak lagi dipandang sebatas sektor ekonomi, melainkan juga bagian dari pembangunan manusia, kebudayaan, dan identitas bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan ini tidak hanya sekadar soal regulasi teknis, tetapi juga pergeseran paradigma dalam memandang pariwisata sebagai instrumen peradaban,” jelasnya.
Dari Regulasi ke Dampak Nyata
UU Kepariwisataan yang disahkan dalam Rapat Paripurna ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026, yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, tidak hanya bersifat formal.
Regulasi ini diharapkan menjadi landasan kuat bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat lokal untuk mengembangkan sektor pariwisata secara berkelanjutan.
Salah satu fokus utama adalah pemberdayaan masyarakat lokal. Dengan regulasi ini, pembangunan destinasi wisata diharapkan tidak hanya menciptakan peluang ekonomi, tetapi juga menumbuhkan kapasitas masyarakat dalam mengelola sumber daya alam dan budaya.
Peningkatan partisipasi lokal diharapkan memperkuat identitas dan nilai budaya yang menjadi daya tarik pariwisata.
Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi akan menjadi pendorong inovasi.
Regulasi ini mendorong pelaku usaha dan pemerintah daerah untuk memanfaatkan platform digital dalam mempromosikan destinasi, menyelenggarakan kreasi kegiatan wisata, serta meningkatkan aksesibilitas informasi bagi wisatawan domestik maupun internasional.
Pariwisata sebagai Instrumen Pembangunan
Chusnunia menekankan bahwa sektor pariwisata kini memiliki dimensi yang lebih luas. Tidak hanya soal pendapatan atau kunjungan wisatawan, tetapi juga soal pembangunan manusia dan kebudayaan.
Dengan pendekatan ini, setiap destinasi wisata harus mampu menyampaikan nilai-nilai lokal, menjaga kelestarian alam, dan mendorong partisipasi aktif masyarakat.
“Pariwisata yang berkualitas adalah pariwisata yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat lokal sekaligus menjaga kelestarian budaya dan lingkungan. Ini adalah paradigma baru yang ingin kita terapkan melalui UU Kepariwisataan,” ujarnya.
Penguatan Kebijakan Nasional
Pengesahan UU Kepariwisataan juga memperkuat kebijakan nasional di sektor pariwisata, terutama terkait pengelolaan destinasi, promosi terpadu, dan pemberdayaan komunitas.
Pemerintah kini memiliki payung hukum yang jelas untuk menjalankan strategi pariwisata hijau, inovatif, dan berbasis digital, sehingga dapat bersaing di tingkat global.
Substansi UU juga menekankan pada kualitas pembangunan kepariwisataan yang mengintegrasikan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.
Hal ini sejalan dengan upaya mendorong pariwisata berkelanjutan, yang tidak hanya menambah devisa negara, tetapi juga memberikan dampak positif jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan.
Menuju Pariwisata Berkelanjutan
Dengan UU Kepariwisataan, Indonesia memasuki era baru di mana sektor ini tidak lagi dipandang sebagai industri semata, tetapi sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa.
Pendekatan berbasis masyarakat lokal, pemanfaatan teknologi, dan keberlanjutan lingkungan menjadi pilar utama yang menuntun arah pembangunan pariwisata nasional.
UU ini juga diharapkan membuka peluang bagi daerah-daerah untuk lebih kreatif dalam mengembangkan destinasi, mendorong ekonomi lokal, dan menjaga kearifan budaya.
Pariwisata tidak hanya menjadi sumber pendapatan, tetapi juga sarana pendidikan budaya, pelestarian lingkungan, dan pembangunan kualitas hidup masyarakat lokal.