Pekanbaru - Laskar Penggiat Ekowisata (LPE) Riau menyelenggarakan Festival Hammock 2025 di kawasan Hutan Adat Imbo Putui, Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, yang berlangsung selama dua hari, Sabtu (13/12/2025) hingga Minggu (14/12/2025).
Festival ini diisi dengan beragam agenda, antara lain diskusi lingkungan, pemutaran film bertema masyarakat adat, panggung ekspresi, sesi berbagi komunitas, penelusuran kawasan Imbo Putui, serta kegiatan penanaman pohon.
‘’Alhamdulillah, berbagai kegiatan dalam Festival Hammock tahun ini bisa dilaksanakan dengan baik meski sedikit agak terkendala karena hujan deras yang mengguyur sepanjang malam. Diskusi lingkungan, beberapa rangkaian acara di malam hari, menjelejahi Imbo Putui hingga menanam pohon, semuanya terlaksana dengan baik,’’ ujar Ketua Panitia, Yanda Rahmanto.
Diskusi lingkungan yang digelar pada Sabtu sore menghadirkan tiga narasumber, yakni Direktur Walhi Riau Eko Yunanda, Manager Program Paradigma Fandi Rahman, serta Ketua LPHA Imbo Putui Bang Bren. Diskusi tersebut dipandu oleh Direktur Salmah Creative Writing (SCW) Siti Salmah.
Dalam pemaparannya, Ketua LPHA Imbo Putui menjelaskan kondisi terkini kawasan Hutan Adat Imbo Putui yang saat ini memiliki luas sekitar 251 hektare (ha).
Ia menerangkan bahwa pada awalnya kawasan Imbo Putui memiliki luas 418 ha. Namun, sekitar 167 ha di antaranya kemudian dikuasai oleh perusahaan. Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat untuk merebut kembali lahan tersebut, namun belum membuahkan hasil.
‘’Sampai kapanpun kami akan mempertahankan hutan ini. Alhamdulillah sekarang sudah menjadi Hutan Adat yang di-SK-kan oleh Menteri Kehutanan. Sehingga tidak ada siapapun yang bisa mengambil. Kami sudah berusaha mengambil lahan yang dikelola perusahaan, tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yang tersisa inilah yang harus dijaga, dilestarikan dan diharapkan berdampak secara ekonomi bagi masyarakat. Makanya menjadi tempat wisata alam,’’ ujar Bang Bren.
Direktur Walhi Riau, Eko Yunanda, pada kesempatan tersebut menekankan pentingnya proses pewarisan nilai dan peran generasi muda dalam menjaga hutan yang telah diperjuangkan oleh generasi sebelumnya agar tetap lestari dan dapat diwariskan kembali.
Ia juga menyampaikan bahwa keadilan ekologis menjadi isu yang harus terus disuarakan oleh anak muda, khususnya di Provinsi Riau. Pasalnya, aktivitas industri ekstraktif yang menguasai lebih dari separuh daratan Riau telah berdampak pada hilangnya tutupan hutan alam, rusaknya habitat satwa, perampasan ruang hidup masyarakat adat dan lokal, pencemaran sungai serta udara, hingga kerusakan ekosistem gambut.
Melihat situasi tersebut, keterlibatan dan gerakan anak muda dinilai sangat krusial sebagai generasi penerus yang memiliki tanggung jawab memastikan lingkungan hidup yang sehat bagi masa depan. Upaya tersebut dapat dimulai dengan mendorong evaluasi perizinan korporasi perusak lingkungan serta mendesak negara melakukan pemulihan lingkungan dan ruang hidup sebagai bentuk pemenuhan hak seluruh subjek ekologis.
Sementara itu, Fandi Rahman memaparkan peran hutan adat sebagai penyangga iklim dan pendingin bumi. Ia juga mengkritisi cara pandang yang kerap keliru, yakni melihat hutan semata-mata sebagai objek visual yang menarik untuk kebutuhan media sosial.
"Kita datang ke sini mencari udara sejuk karena di kota suhu makin panas ekstrem. Tapi kita sering lupa, kesejukan itu ada karena hutan ini bekerja keras menyerap karbon. Setiap batang pohon di Imbo Putui adalah mesin penyerap emisi. Jika hutan ini hilang, kita bukan hanya kehilangan tempat wisata, tapi kita kehilangan perisai menghadapi bencana iklim,’’ tegas Fandi.
Diskusi yang berlangsung di ruang terbuka tersebut ditutup dengan sesi tanya jawab serta pembagian doorprize bagi peserta yang mampu menjawab pertanyaan dari para narasumber. Pada malam harinya, rangkaian kegiatan dilanjutkan di tenda utama akibat hujan, di antaranya nonton film bersama, panggung ekspresi, dan sesi berbagi antar komunitas. Keesokan paginya, peserta mengikuti kegiatan jelajah kawasan Imbo Putui dan penanaman pohon.
‘’Ini bukan Festival Hammock yang pertama, tapi yang keempat. Pertama dilaksanakan tahun 2016 di hutan Buluhcina. Festival kedua tahun 2017 juga di hutan Buluhcina. Selanjutnya terhenti karena Covid dan aktif lagi tahun 2024 festival ketiga juga di hutan Buluhcina, dan sekarang festival ke empat di Hutan Adat Imbo Putui. Alhamdulillah peserta hampir 100 orang dari berbagai kabupaten di Riau. Panitia juga melibatkan masyarakat tempatan. Semoga mimpi menjaga hutan secara bersama-sama dengan mengajak masyarakat luas, mulai dengan menumbuhkan pohon-pohon dengan menanam hingga turut melestarikannya akan terwujud,’’ papar Koordinator LPE Riau Muhammad Aprianda.
LPE Riau merupakan salah satu Organisasi Anggota (OA) Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dari total 12 OA yang ada. Kegiatan ini turut dihadiri oleh organisasi anggota Walhi Riau lainnya. Eksekutif Daerah Walhi Riau Eko Yunanda hadir sebagai narasumber diskusi bersama seluruh stafnya. Acara tersebut secara resmi dibuka dan ditutup oleh Dewan Daerah Walhi Riau, Kunni Masrohanti, yang juga merupakan salah satu pendiri LPE Riau.
Walhi Riau menyampaikan apresiasi kepada LPE Riau atas kerja keras dalam menyukseskan Festival Hammock 2025. Kegiatan ini dinilai menjadi salah satu pendekatan efektif untuk mengajak masyarakat menjaga dan melestarikan hutan melalui konsep wisata berbasis lingkungan, terutama bagi kalangan anak muda. Menjaga hutan berarti menjaga pohon, dan salah satu bentuk nyatanya diwujudkan melalui kegiatan penanaman pohon.
"Terima kasih LPHA dan Pokdarwis yang sudah menerima keluarga besar Walhi Riau. Sehingga kegiatan ini bisa dilaksanakan di Hutan Adat Imbo Putui. Terima kasih kepada seluruh peserta dan tetaplah bersama LPE Riau,’’ kata Kunni.