Infrastruktur

Infrastruktur Rapuh di Balik Angka Indah

Infrastruktur Rapuh di Balik Angka Indah
Infrastruktur Rapuh di Balik Angka Indah

JAKARTA — Di balik sederet laporan keuangan daerah yang terlihat mengesankan, muncul ironi yang mencolok dalam pembangunan infrastruktur di Provinsi Banten. Kendati Pemerintah Provinsi Banten diganjar opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI), kualitas infrastruktur yang dibangun justru menuai pertanyaan besar.

Laporan hasil pemeriksaan keuangan daerah mencatat sejumlah pekerjaan infrastruktur jalan dan fasilitas publik lainnya tak sesuai dengan spesifikasi kontrak. Tak hanya dari segi volume pekerjaan, tetapi juga jenis material dan mutu hasil akhir. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran atas efektivitas pengelolaan anggaran pembangunan yang selama ini ditampilkan dengan penuh kebanggaan.

Proyek-proyek jalan, irigasi, dan infrastruktur publik lain yang diklaim selesai dan berfungsi, rupanya menyimpan persoalan teknis mendasar. Beberapa ruas jalan provinsi yang baru dibangun bahkan telah mengalami kerusakan serius dalam waktu kurang dari setahun.

Kerusakan paling banyak dikeluhkan warga di wilayah Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Jalan yang baru diaspal tahun lalu kini sudah mulai mengelupas saat musim hujan, dan membentuk lubang besar di berbagai titik. Di ruas Ciruas Anyer, yang baru diperbaiki pada 2023, permukaan jalan kini bergelombang dan tak nyaman dilalui.

Masalah ini tentu tidak bisa semata-mata dinilai sebagai kesalahan teknis semata. Justru, ini menjadi cermin dari lemahnya pengawasan serta rendahnya akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek. Peringatan ini bukanlah hal baru. Dalam buku “Megaprojects and Risk” karya Bent Flyvbjerg, dijelaskan bahwa kegagalan mutu dalam proyek infrastruktur sering bukan karena keterbatasan teknologi, melainkan karena lemahnya integritas pengelolanya mulai dari tahap perencanaan, eksekusi, hingga pengawasan.

Proyek-proyek pembangunan besar seperti ini memang kerap dijadikan etalase keberhasilan pemerintah daerah. Tetapi apa gunanya proyek yang selesai cepat bila tidak bisa bertahan lama? Dana yang dikeluarkan menjadi tidak sebanding dengan manfaat jangka panjangnya. Justru, ketika jalan cepat rusak dan infrastruktur tidak tahan lama, publik akan merasakan kerugian dua kali: secara ekonomi dan kepercayaan.

Lebih jauh, proses pengawasan yang seharusnya menjadi benteng terakhir menjaga mutu juga tampak melemah. Banyak temuan menunjukkan bahwa pengawas lapangan, baik dari pihak instansi maupun konsultan teknis, tidak menjalankan fungsinya dengan optimal. Pengabaian terhadap kualitas material dan ketidaktegasan atas keterlambatan pengerjaan menjadi celah yang akhirnya berdampak pada buruknya hasil pekerjaan.

Jika merujuk pada standar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), setiap proyek infrastruktur wajib melalui rangkaian uji mutu material di laboratorium, pengujian kekuatan struktur, dan audit progres fisik secara sistematis. Namun ketika sistem ini diabaikan atau hanya dijalankan sebatas formalitas, maka yang terjadi bukan hanya pemborosan anggaran, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat.

Opini WTP dari BPK tentu merupakan pencapaian administratif yang membanggakan. Namun, opini ini tak serta-merta menjamin bahwa pembangunan di lapangan berlangsung dengan mutu terbaik. Laporan keuangan bisa saja sempurna, tetapi ketika hasil pembangunan tidak bisa dirasakan dengan nyata dan bertahan lama, maka esensi dari pembangunan itu sendiri menjadi hilang.

Masyarakat Banten kini tidak hanya butuh laporan yang tertib administrasi, tapi juga proyek infrastruktur yang bisa mereka nikmati secara aman dan berkelanjutan. Aspirasi warga untuk memiliki akses jalan yang mulus, jembatan yang kokoh, dan fasilitas umum yang layak, semestinya menjadi acuan utama setiap program pembangunan.

Sebagaimana semangat dalam visi pembangunan nasional, infrastruktur seharusnya hadir sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup. Namun jika yang terjadi justru pembangunan yang rapuh, maka potensi pertumbuhan daerah juga ikut terhambat.

Sudah saatnya pemerintah daerah tidak hanya fokus pada penyelesaian proyek berdasarkan tenggat waktu dan realisasi anggaran, tapi juga menjadikan kualitas sebagai parameter utama. Komitmen terhadap mutu harus dimulai dari perencanaan yang cermat, pelaksanaan yang jujur, hingga pengawasan yang tegas.

Apalagi, setiap rupiah dari anggaran pembangunan merupakan hasil dari kontribusi publik melalui pajak dan sumber daya daerah. Maka menjadi tanggung jawab moral dan profesional bagi seluruh pihak yang terlibat untuk menjamin bahwa setiap proyek infrastruktur benar-benar memiliki nilai tambah jangka panjang.

Sejumlah pihak mendorong agar Pemprov Banten memperkuat sistem evaluasi internal, meningkatkan kapasitas pengawasan, dan melakukan audit teknis secara berkala. Jangan sampai proyek yang baru dibangun sudah masuk agenda rehabilitasi karena kelalaian yang seharusnya bisa dicegah sejak awal.

Membangun infrastruktur bukan sekadar urusan fisik, tetapi juga membangun kepercayaan rakyat. Jika mutu terus diabaikan, maka publik akan kehilangan harapan pada janji-janji pembangunan yang digembar-gemborkan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index