BMKG

BMKG Waspadai Kemarau Basah

BMKG Waspadai Kemarau Basah
BMKG Waspadai Kemarau Basah

JAKARTA - Fenomena cuaca tak biasa kembali terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia. Alih-alih kering dan panas sebagaimana musim kemarau pada umumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau tahun ini justru akan disertai curah hujan tinggi hingga Oktober 2025. Prediksi ini menyusul keberlanjutan anomali curah hujan yang telah berlangsung.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa fenomena tersebut berkaitan erat dengan melemahnya Monsun Australia yang seharusnya menjadi pengendali utama musim kemarau di Indonesia. Lemahnya monsun menyebabkan suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat, sehingga mendukung pembentukan awan hujan. “Melemahnya Monsun Australia yang berasosiasi dengan musim kemarau turut menyebabkan suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat dan hal ini berkontribusi terhadap terjadinya anomali curah hujan tersebut,” ujar Dwikorita dalam konferensi pers bertajuk Perkembangan Cuaca dan Iklim yang diselenggarakan secara daring.

Tak hanya monsun, sejumlah faktor atmosferik lainnya turut memperparah kondisi cuaca. Keberadaan gelombang Kelvin yang aktif di sepanjang pesisir utara Jawa, serta perlambatan dan belokan angin di bagian barat dan selatan pulau tersebut, menimbulkan penumpukan massa udara. Kombinasi tersebut mempercepat pembentukan awan yang berpotensi menghasilkan hujan deras.

BMKG juga melaporkan adanya konvergensi angin dan tingkat labilitas atmosfer lokal yang terpantau cukup kuat di beberapa wilayah. Hal ini menjadikan langit Indonesia, terutama di wilayah padat aktivitas, rawan terhadap gangguan cuaca ekstrem.

ENSO dan IOD Tetap Netral, Tapi Hujan Tak Terbendung

Dalam laporan terbaru yang dirilis bersamaan, BMKG bersama beberapa pusat iklim internasional menyebutkan bahwa dua indikator penting sistem iklim global, yakni El Niño Southern Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik dan Indian Ocean Dipole (IOD) di Samudra Hindia, saat ini berada dalam fase netral. Meski netral, kondisi ini tidak serta merta menjamin musim kemarau kering seperti biasanya.

BMKG menggarisbawahi bahwa netralitas ENSO dan IOD justru memperkuat kemungkinan curah hujan di atas rata-rata, terutama ketika dikombinasikan dengan faktor lokal seperti suhu muka laut hangat dan gangguan atmosfer lain. Kondisi seperti ini dikenal dengan istilah “kemarau basah”, yakni musim kemarau yang tetap disertai hujan dalam intensitas tinggi.

Musim Kemarau Mundur dan Baru Terjadi di Sebagian Wilayah

Pola anomali yang diamati oleh BMKG sejatinya telah diprediksi sejak Maret 2025. Kala itu, BMKG telah memperkirakan bahwa sekitar 29% Zona Musim (ZOM) di Indonesia akan mengalami kemunduran musim kemarau. Kemunduran ini paling terasa di Lampung, sebagian besar wilayah Jawa, Bali, serta wilayah timur seperti NTB dan NTT.

Hingga akhir Juni 2025, pemantauan BMKG menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% wilayah di Indonesia yang telah memasuki musim kemarau. Angka ini hanya setengah dari kondisi normal yang secara klimatologis biasanya mencapai 64% pada akhir Juni. “Angka ini hanya setengah dari kondisi normal, di mana secara klimatologis sekitar 64% Zona Musim biasanya telah mengalami musim kemarau pada akhir Juni,” ungkap Dwikorita dalam kesempatan yang sama.

Cuaca Ekstrem dan Imbauan Kewaspadaan

BMKG turut memberikan peringatan dini terkait potensi cuaca ekstrem yang dapat berdampak pada aktivitas masyarakat, terutama di wilayah padat penduduk dan daerah wisata. Hujan deras hingga ekstrem telah dilaporkan terjadi di berbagai wilayah dalam beberapa hari terakhir, termasuk kawasan barat dan tengah Pulau Jawa seperti Jabodetabek, Sulawesi Selatan, NTB, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.

Karena tingginya risiko yang ditimbulkan, BMKG telah mengeluarkan peringatan sejak 28 Juni 2025, khususnya untuk mengantisipasi lonjakan aktivitas masyarakat selama masa libur sekolah. Aktivitas transportasi dan pariwisata menjadi sektor yang paling diwaspadai, mengingat tingginya mobilitas di sejumlah titik strategis. “Kami telah memberikan peringatan dini sejak 28 Juni agar aktivitas libur sekolah dapat termitigasi,” jelas Dwikorita.

BMKG mengimbau pemerintah daerah dan masyarakat untuk tidak menganggap remeh perubahan cuaca yang sedang berlangsung. Kewaspadaan dini dan mitigasi menjadi kunci penting dalam mencegah dampak buruk dari cuaca ekstrem, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga gangguan transportasi dan pariwisata.

Antisipasi dan Adaptasi

Seiring dengan intensitas anomali yang terus berlanjut, BMKG menegaskan perlunya penguatan sistem informasi cuaca dan iklim di tingkat daerah. Informasi yang akurat dan cepat diyakini dapat membantu masyarakat dalam mengatur aktivitas mereka secara lebih aman.

Dalam jangka menengah, upaya adaptasi terhadap pola cuaca baru juga menjadi penting, khususnya dalam sektor pertanian dan perikanan yang sangat bergantung pada pola iklim musiman. Anomali cuaca seperti kemarau basah dapat mengganggu siklus tanam dan panen, serta menimbulkan kerugian jika tidak diantisipasi sejak awal.

Prediksi BMKG menunjukkan bahwa cuaca basah di musim kemarau kemungkinan besar masih akan berlangsung hingga Oktober 2025. Dengan begitu, berbagai pemangku kepentingan diharapkan dapat mengambil langkah proaktif untuk menjaga keselamatan publik dan kelangsungan aktivitas sosial ekonomi di tengah dinamika iklim yang tidak menentu.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index