Politik

Politik dan Edukasi Anggaran Pemilu

Politik dan Edukasi Anggaran Pemilu
Politik dan Edukasi Anggaran Pemilu

JAKARTA - Penyelenggaraan demokrasi di Indonesia kembali diuji, bukan hanya dari sisi teknis pemilu, tetapi juga kesiapan edukasi politik dan pengelolaan anggaran. Hal ini mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang digelar di Senayan.

Pertemuan tersebut menyoroti dua aspek utama yang dianggap krusial: pentingnya pendidikan politik yang lebih masif bagi masyarakat, khususnya generasi muda, serta evaluasi terhadap lambannya penyerapan anggaran pemilu yang bisa berdampak terhadap efektivitas pelaksanaan pesta demokrasi.

Pendidikan Politik: Investasi Demokrasi Jangka Panjang

Wakil Ketua Komisi II, Dede Yusuf, menaruh perhatian serius pada fungsi edukasi yang seharusnya dijalankan KPU dan Bawaslu. Menurutnya, partisipasi pemilih di masa depan sangat tergantung pada pemahaman politik yang ditanamkan sejak dini. Ia menekankan bahwa institusi penyelenggara pemilu tak cukup hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga wajib mengambil peran sebagai pendidik demokrasi. “Salah satu tugas terbesar KPU dan Bawaslu, adalah bagaimana melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, terutama generasi muda,” ujarnya.

Dede menyoroti fakta bahwa pemilih pemula sangat rentan terpengaruh informasi dangkal yang berseliweran di media sosial. Jika tidak dibekali dengan wawasan politik yang utuh dan pemahaman tentang hak-hak demokratis mereka, hal ini dapat berdampak negatif pada tingkat partisipasi pemilu di masa depan, termasuk Pemilu 2029 atau bahkan 2031.

Ia mendukung pendekatan digitalisasi yang melibatkan para pemangku kepentingan lintas sektor, termasuk platform digital, sebagai media efektif untuk menjangkau pemilih muda. “Saya sepakat dengan pendapat kawan-kawan untuk penggunaan digitalisasi, termasuk media sosial dan juga informasi‑informasi lain itu harus melibatkan stakeholders,” tambahnya.

Sorotan terhadap Penyerapan Anggaran Pemilu

Selain pendidikan politik, perhatian juga tertuju pada efektivitas penggunaan anggaran oleh KPU dan Bawaslu. Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, menyampaikan keprihatinannya terhadap rendahnya serapan anggaran KPU pada pertengahan tahun anggaran. Ia menilai kondisi ini bisa berdampak terhadap kelancaran tahapan pemilu dan efektivitas kegiatan sosialisasi yang dibutuhkan. “Penyerapan anggaran KPU saya lihat masih ada yang delapan persen, dua belas persen ... Memang sudah ada yang sekitar 50 persen, tapi masih banyak penyerapannya yang belum mencapai 50 persen. Ini kenapa?” ungkap Jazuli.

Pengalaman sebelumnya juga memperlihatkan kekhawatiran serupa. Pada 2024, Bawaslu hanya mampu menyerap anggaran sebesar 87%, menyisakan 13% dana yang harus dikembalikan ke kas negara. KPU sedikit lebih baik dengan penyerapan mencapai 95%, tetapi masih menyisakan ruang evaluasi yang cukup besar.

Solusi: Alokasi Ulang dan Pendidikan Politik Non-Tahunan

Sebagai bagian dari respons terhadap persoalan penyerapan anggaran, Jazuli menyampaikan usulan agar dana yang belum terserap dapat dialokasikan ulang ke KPUD di daerah. Langkah ini dinilai bisa meningkatkan fleksibilitas dan efektivitas penyelenggaraan pemilu di level lokal. “Kalau misalnya teman‑teman KPU dan Bawaslu tidak bisa menghabiskan (menyerap) anggaran yang ada, menurut saya bagi‑bagi saja ke teman‑teman (KPUD) di daerah ...” ucap Jazuli.

Tak hanya itu, ia juga mendorong agar proses pendidikan politik tidak dilakukan secara musiman menjelang pemilu saja, melainkan menjadi program berkelanjutan. Ia melihat pentingnya kolaborasi antara KPU–Bawaslu dengan kampus, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kepemudaan agar pendidikan politik memiliki daya jangkau dan dampak yang lebih luas. “Politisi dari Fraksi PKS ini mengusulkan agar KPU dan Bawaslu menggelar sosialisasi berupa pendidikan politik, jauh sebelum tahun pemilu berlangsung.”

Permintaan Tambahan Anggaran untuk 2026

Menanggapi berbagai tantangan yang dihadapi, Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, menyampaikan bahwa lembaganya membutuhkan tambahan anggaran untuk tahun 2026. Besarnya mencapai Rp 986 miliar, di luar pagu awal sebesar Rp 2,7 triliun. Kebutuhan ini diyakini penting untuk mendukung kegiatan sosialisasi, pendidikan politik, serta penguatan infrastruktur penyelenggaraan pemilu. “KPU saat ini memiliki pagu awal Rp 2,7 triliun namun menilai nominal tersebut belum mencukupi untuk tugas-tugas edukatif dan penyelenggaraan pemilu,” kata Afif.

Rekomendasi Strategis dari Komisi II

Komisi II DPR memberikan sejumlah catatan penting sebagai tindak lanjut dari RDP tersebut:

-Pendidikan Politik Berkelanjutan
Edukasi tidak boleh hanya bersifat seremonial menjelang pemilu. Harus menjangkau kampus, komunitas, hingga daerah terpencil.

-Penguatan Digitalisasi Sosialisasi
Pemanfaatan media sosial harus dilakukan secara strategis, dengan konten edukatif yang kredibel dan menarik bagi generasi muda.

-Evaluasi Anggaran Regional
Kinerja KPUD perlu dimonitor secara periodik agar tidak terjadi pengembalian anggaran. Pengawasan triwulan bisa menjadi solusi.

-Verifikasi Penggunaan Dana Tambahan
Tambahan anggaran yang diajukan KPU wajib diverifikasi secara ketat agar benar-benar digunakan untuk memperkuat demokrasi, bukan hanya menambah beban fiskal negara.

Membangun Demokrasi dari Akar

Pertemuan ini memberi sinyal jelas bahwa demokrasi tidak cukup hanya dibangun lewat pemilu lima tahunan, tetapi melalui proses pendidikan politik yang konsisten serta pengelolaan anggaran yang bertanggung jawab. Komisi II, KPU, dan Bawaslu memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kedua aspek ini berjalan beriringan. Bila rekomendasi benar-benar dijalankan, maka pemilu ke depan tak hanya menjadi ajang memilih, tapi juga mencerminkan kematangan demokrasi Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index