Politik

Politik Sebagai Jalan Persatuan Umat

Politik Sebagai Jalan Persatuan Umat
Politik Sebagai Jalan Persatuan Umat

JAKARTA - Di tengah dinamika pascapemilu yang tak kunjung mereda, satu hal yang pantas direnungkan bersama adalah bagaimana umat menempatkan politik dalam kerangka kebangsaan dan ukhuwah. Politik bukanlah alat perpecahan, melainkan wadah penyaluran aspirasi, dan semestinya menjadi perekat bukan pemisah.

Setelah KPU RI menetapkan hasil kontestasi nasional, saatnya umat mengalihkan energi dari hiruk pikuk kampanye menuju ketenangan hati untuk mendoakan negeri. Doa untuk diri, keluarga, masyarakat, serta doa untuk para pemimpin baik yang baru terpilih maupun yang akan segera dilantik. Sebab dalam setiap pergantian kepemimpinan, selalu ada harapan baru dan tantangan besar yang menanti.

Perbedaan pilihan dalam pilpres adalah sesuatu yang lumrah dan dibolehkan. Tidak ada keharusan untuk menyamaratakan pendapat. Bahkan dalam kehidupan beragama sekalipun, perbedaan pandangan adalah keniscayaan. Maka tak perlu ada kebencian apalagi permusuhan hanya karena berbeda pilihan calon presiden. Terlebih jika perbedaan itu sampai merusak hubungan sosial atau membuat seseorang tak lagi bertegur sapa.

Narasi rekonsiliasi yang kini menguat di ruang publik seakan menjadi penanda bahwa masyarakat Indonesia sudah cukup lelah dengan pembelahan politik. Setelah pemilu yang sarat polarisasi, sebagian besar rakyat tampaknya mendambakan suasana yang lebih damai. Politik jalan tengah menjadi opsi yang dirasa paling bijak bagi banyak pihak dan masyarakat menjawabnya melalui kecenderungan mereka dalam berbagai survei.

Namun begitu, tak semua yang menyuarakan perubahan mampu menunjukkan arah yang tegas. Ketika narasi perubahan tidak diiringi sikap yang konsisten, maka publik pun menjadi bingung. Bagaimana mungkin menyuarakan perubahan namun tetap berada di struktur kekuasaan? Bagaimana bisa mengkritisi kebijakan pemerintah jika sebagian besar justru disepakati sendiri oleh partai yang mengusung narasi perubahan? Akhirnya, masyarakat pun menilai bahwa klaim perubahan tersebut belum tentu benar-benar murni.

Hal lain yang memprihatinkan adalah munculnya kembali politik identitas yang dikemas demi kepentingan elektoral. Ketika kampanye mulai memanfaatkan aliran atau sentimen keagamaan secara berlebihan, maka demokrasi menjadi kehilangan nilai substansinya. Lebih disayangkan lagi, jika hal ini memicu caci maki di media sosial, yang tidak hanya merusak nalar publik tapi juga akhlak umat.

Dalam menyikapi perbedaan, Rasulullah saw. telah memberi teladan terbaik. Di hari penaklukan Makkah, beliau memilih memaafkan banyak penduduk yang dahulu menentangnya. Dari teladan itu, semestinya umat belajar. Cacian di media sosial, perang kata-kata, dan debat berkepanjangan sebaiknya diakhiri. Politik semestinya membawa kedamaian dan membangun, bukan memecah.

Demokrasi sejatinya adalah sarana untuk menguatkan rakyat dalam menentukan masa depan bangsa. Pemilu adalah momentum rakyat bersuara. Maka bergembiralah karena rakyat telah menunaikan hak konstitusionalnya. Tak perlu ada kemarahan atau kekecewaan yang berlebihan. Segala sesuatu yang berlebihan tak baik, termasuk dalam hal mencintai atau membenci pilihan politik.

Kita juga harus menyadari bahwa tak semua yang maju dalam kontestasi adalah hasil dari latar belakang elit. Bahkan jika pun ada anak pejabat yang mencalonkan diri, keputusan akhir tetap berada di tangan rakyat. Biaya kampanye yang besar tak akan banyak berarti jika rakyat tak berkenan memberikan dukungan.

Dalam pandangan spiritual, kekuasaan adalah amanah yang diberikan Allah Swt. kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Maka jika seorang calon terpilih, itu adalah bagian dari takdir yang harus diterima. Begitu juga jika tidak terpilih. Semua adalah kehendak-Nya. Peran kita adalah berusaha sebaik mungkin dan berdoa, sembari tetap ikhlas menerima setiap hasil yang terjadi.

Itulah sebabnya, ketika memilih calon pemimpin, umat harus bersandar pada pemahaman bahwa tak ada manusia yang sempurna. Siapa pun yang jadi presiden, itu adalah keputusan terbaik yang ditetapkan oleh Allah untuk bangsa ini saat ini. Kesadaran ini penting agar umat tidak terjebak dalam kekecewaan berlebihan ataupun euforia yang membutakan.

Kini saatnya menyatukan langkah. Bukan lagi tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tapi bagaimana seluruh elemen bangsa, khususnya umat Islam yang menjadi mayoritas, bersatu mengusung cita-cita besar Indonesia ke depan. Mari lepas jubah merasa paling benar. Mari tinggalkan debat kusir yang tak produktif.

Kita sedang menuju Indonesia Emas. Dan umat Islam memegang peran strategis dalam perjalanan itu. Umat yang bersatu dan sadar politik akan menjadi motor penggerak kemajuan bangsa. Tak hanya dalam skala nasional, tapi juga berpotensi menjadi juru bicara dunia Islam di pentas global.

Maka jangan sia-siakan potensi besar ini hanya karena perbedaan sesaat. Politik seharusnya menjadi jalan pengabdian, bukan jalan pertikaian. Semoga umat semakin sadar, semakin matang dalam berdemokrasi, dan semakin bijak dalam menyikapi realitas politik yang terus berkembang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index